The Cokavan : Friendship
Dista mengedip beberapa kali, bukan istana Princess yang ia
lihat, bukan pula rumah ber type 36/60. Melainkan sebuah ruangan seukuran kamar
mandi pribadi (dulu) Dista yang menjadi rumahnya sekarang.
Kontrakan kecil yang standarnya di huni 2 orang, sekarang
berubah menjadi hunian satu keluarga besar Dista. Bahkan,ruangan itu hanya
cukup untuk semua barang-barang keluarganya. Belum area untuk tidur.
“Sialan!” seru Dista sambil membanting tubuhnya ke atas
tumpukan karung berisi barang rongsokan hasil memulung.
“gue ngga bisa sekolah! Ngga bisa main bareng sama The
Cokavan! Gara-gara tanda tangan begonya Domeon!” Dista menendang karung berisi
besi “Awww”
Dulu Dista sangat berkecukupan karena penghasilan dua
perusahaan milik Ayahnya, sayang tidak lama. Semua berubah saat Domeon
mengambil alih perusahaan. Kakaknya menandatangani kontrak parasit hingga
akhirnya jatuh miskin. Sampai-sampai kedua orang tuanya meninggal dunia.
“Domeon sialan!!!” Dista menangis di tengah
karung-karungnya, iaa menutup wajahnya dengan topi yang tadi ia temui di sungai
“Ayah... Ibu...The Cokavan...”
Tringg...
Rasanya seperti terkena panah, Dista teringat The Cokavan,
Coklat, Karamel dan Vanila yang selalu menemaninya di Ladies International
School, tempat ia belajar (dulu). Terngiang di kepala Dista kenangan saat Dista
berulang tahun dan di beri kejutan oleh tiga temannya itu, apalagi saat tour ke
Jepang bersama, menelpon orang tak dikenal lewat telepon hotel, berenang
bersama dan semua yang sekarang tinggal kenangan, memikirkan ini tangis Dista
makin menjadi.
“Sita? Makan dulu” perinta tante Yuli. Mau makan apa ?
gumamnya. Barang rongsokannya saja belum di jual.
Dista tak mengindahkan kata-kata tantenya lalu nyelonong
pergi menyusuri sungai untuk mencari ikan dan diberikan kepada 5 adiknya yang
menunggu di rumah.
Sejurus kemudian, the Cokavan melintasi jembatan di atas
sungai yang Dista pijaki. Dista langsung melipat kepalanya dan berharap mereka
tidak menemuinya. Tapi apadaya, mata Karamel yang gatal menatap Dista
lekat-lekat.
Suasana juga ambil andil di sini, karung berisi botol-botol
plastik yang ia bawa terbang ke sana kemari, berserakan di bawa angin. Karamel yang
melihatnya, langsung membantu Dista juga Coklat dan Vanila.
Dista yang malu akan keadaaannya sekarang, memilih menunduk
dan membiarkan hasil memulungnya berterbangan.
“Dista?!” tanya Coklat sambil mengangkat salah satu alisnya.
“Dista Junior?” tanya Vanila, Karamel yang sudah tau duluan
mengangguk.
Dista malah meninggalkan The Cokavan dan botol-botol plastik...
To be Contunied...
Komentar
Posting Komentar