[Cerpen] You And I
You and I
By Arfina Tiara Dewi
“Waan?”
Jao mengibas-ngibaskan
tangannya di depan wajah Waan yang sedang melamun, raut wajahnya benar-benar
imut saat ini.
“Hey, Waan?
Bel sudah berdering sejak tadi”
Waan
mengerjapkan matanya lalu mentap Jao bingung, Jao sendiri menatap Waan ngeri,
karena seperti orang habis kesetanan. Waan yang biasanya berteriak setelah
melamun kini malah tersenyum manis. Manis sih, tapi menurut Jao menggelikan,
semacam eww moment.
“Dimana
ini?” Tanya Waan sambil mengedarkan pandangannya ke seantero ruangan bercat cream dengan nuansa hommy ini.
“Kelas,
kenapa kau melamun terus?” Jao menyungut-nyungut sambil menarik Waan keluar
kelas, dari pukul 2 (Sejak bel) sampai pukul 3, Jao menunggu Waan yang ternyata asyik bermain dengan
imajinasinya, untung Waan terbangun lebih dulu sebelum Jao sembur.
Tanpa
mengelak, gadis berambut panjang dengan wajah Arab-Thailand dicampur sedikit
Chinese dan Oriental sekarang berada di koridor kelas, ditariki oleh Jao yang
sangat jenuh menunggunya.
Di koridor,
Jao menatapi Waan yang memunggunginya, Waan kembali ke imajinasi liarnya,
entahlah, akhir-akhir ini sahabat Jao yang satu ini pikirannya selalu
melayang-layang, padahal di Indonesia belum musim layang-layang.
“Hey Waan,
apa kau tau Phi?” Tanya Jao, berusaha mengajak ngobrol sahabatnya. Ternyata
pertanyaan itu mencuri perhatian Waan, dia tengah menatap bingung Jao.
“P’Phi[1]?
Kenapa?”
“Bagaimana
menurutmu? Apakah dia cocok untukku?”
Waan menatap
ragu Jao yang sekarang nyengir gembira, bukannya tidak cocok, hanya saja Waan
tidak bisa terima jika Jao cocok dengan Phi, gadis primadona sekolah ini.
Siapapun pasti mengenalnya, paman penjual kopi di depan sekolah saja tau.
“Aku ingin
pulang!”
***
Hari ini,
Waan menjauhi Jao yang suka tiba-tiba mendekati Waan lalu membuka obrolah
tentang Phi, Waan benar-benar tak habis pikir dengan Jao, Jao yang sekarang
beda dengan dulu, seratus delapan puluh derajat berbeda.
“Ada apa
denganmu? Kau ini gila atau bagaimana?!” kata Waan sambil mendorong tubuh Jao,
Jao menggelengkan kepalanya tak paham, dia langsung mengobrol dengan Sim.
Sementara Waan pergi menuju Fu.
“Hey, Fu.
Aku benar-benar tak mengerti semua ini. Seharusnya dia tidak usah dekat
denganku, jarak ini terlalu membingungkan” Waan menatap Fu yang sedang
bersandar di tiang koridor.
“Aku boleh
bercerita apa saja, kan?” Waan mengangguk “Dari pembicaraan Jao dan Sim. Jao
akan menyatakan perasaannya kepada Phi ...”
Rasanya Waan
baru saja tertabrak taksi berkali-kali, jantungnya berdegup lambat, dia hampir
terlonjak kalau tidak di pegangi Fu. Waan tidak tau harus bagaimana lagi, orang
yang datang ke hidupnya tiba-tiba, dia juga tiba-tiba punya perasaan dengannya,
tiba-tiba juga orang itu merusak hatinya.
“Waan? Akh,
seharusnya aku tidak perlu menceritakan ini!”
“Tidak apa,
supaya jelas, aku tidak boleh berharap lebih. Tidak apa. Terima kasih, tapi
biarkan aku sendiri ...”
Fu hanya
mengangguk menanggapi sahabatnya yang sedang patah hati itu, Waan segera
bersandar pada pagar, menatap lapangan hijau di bawahnya, menatap Sim dan Jao
yang sedang mengobrol dengan Phi. Waan tersenyum miris, walaupun tidak keluar
air mata, raut wajah Waan benar-benar menyedihkan sekarang.
“Seharusnya
kisah kita happy ending, seperti yang
di tuliskan Fu di blognya ...” lirih Waan, kali ini Waan membiarkan air matanya
mengalir, Fu yang melihatnya hanya menunduk, seharusnya Fu tidak menuliskan
fiksi tentang Waan dan Jao di blognya.
“Haruskah happy ending?”
Waan
menggeleng, takdir ditentukan oleh Tuhan, bukan olehnya ataupun cerita fiksi Fu.
Jadi, Waan hanya berharap agar rasa sakit ini segera berakhir, seperti rasa
Waan terhadap Jao yang sekarang tengah dalam proses ‘berakhir’.
***
Fu tengah
melambai-lambaikan tangannya saat Jao dan Sim melewatinya begitu saja, raut
wajah mereka tidak bisa terbaca, dua-duanya mempunyai aura abstrak sehingga
siapapun yang melihatnya tidak akan bisa langsung menyimpulkan apa yang sedang
dirasakan.
“Waan? Kau
belum pulang?” Tanya Jao kepada Waan yang bersandar pada pagar pembatas,
menatap lapangan hijau di bawahnya. Sejurus kemudian, Sim melambaikan tangannya
kepada mereka.
“Kalau aku
sudah pulang, aku tidak akan ada di sini,
bodoh” jawab Waan dingin, tanpa menatap Jao sekalipun.
“Kau tau
rasanya bagaimana perihnya sakit hati?” Jao duduk bersandar di pagar,
matanya menerawang, sambil berharap Waan sebagai sahabatnya bisa membantu dia
saat seperti ini.
“Aku sedang
mengalaminya ...” kata Waan sambil merosotkan dirinya hingga
terduduk di samping Jao yang kini menatapnya penuh arti.
Mereka saling bertatapan, bedanya, Waan menatap datar Jao, tapi Jao menatap
Waan seolah bilang ‘Tolong aku’. “Sakitnya di sini ...” kata Jao sambil
menunjuk hatinya, Waan terus menatap Jao datar, ingin sekali Waan meninju orang
itu.
“Kau ingin ku maafkan?” tanya Waan.
Seolah tau perasaan Waan terhadap Jao, Jao mengangguk, sepertinya Jao
memang tau kalau Waan menyukainya, dan penolakan Phi pun seperti sebuah balasan
untuknya.
“Seandainya kau merasakan ini lebih dulu, aku tak akan mendiamkanmu ...
bodoh. Sudah tau Phi adalah musuhku, terus saja kau mengejarnya, kemungkinan
diterima hanya untuk diperalat ...” jelas Waan lalu dia menggeser kepalanya
hingga terjatuh di bahu Jao, Jao malah mengelus-elus kepala Waan, seketika itu
juga, air mata Waan keluar.
“Maafkan aku, Waan ...”
P artinya kak (panggilan untuk orang yang lebih tua)
Komentar
Posting Komentar