[Cerpen] Angel And Me

Aku menatapnya dalam diam, sang malaikat—jelmaan malaikat maksudku. Dia sedang melakukan gerakan indah memencet-mencet tuts piano, orang itu memainkannya dengan indah. River Flow In You mengalun indah di telingaku, rasanya mendengar permainan Yiruma. Tanpa lirik pun, aku tau bagaimana lagu ini berbicara.
Hembusan angin menabrak helai-helai rambutku, dia masih sibuk memainkan lagu itu dengan indahnya. Langit menggelap perlahan, matahari terlihat melambai-lambai ke arahku sambil tersenyum, lekuk bibir itu mirip senyuman Jo. Tau-tau tabletku sedang menampilkan Jo yang memainkan piano sambil tersenyum, anglenya pas, close up pula.
Rasanya seperti banyak kupu-kupu sedang berkeliaran diperutku, ingin rasanya mentertawakan diriku sendiri, heran, manusia sepertiku—yang hanya bisa duduk di atas kursi roda , hanya bisa menulis, mendengar, membaca, meraba, melihat, tanpa bicara bahkan sekarat  ini mengagumi seorang Jo, tidak malukah aku?
Aku mendengus, terlahir istimewa seperti ini kadang membuatku minder sendiri.

***
Aku terlahir tidak sempurna, tapi aku terlahir istimewa. Tanganku mengambil alih fungsi mulutku, apa yang aku ingin katakan, semuanya aku tulis sendiri, aku bersyukur, tanganku diciptakan denganfungsinya, tidak seperti bibirku yang hanya menjadi pajangan.

Jalanan sempit ini sedang kususuri sendirian di daerah padat penduduk di kawasan Nirwana. Sebenarnya ibu menyuruh perawatku untuk menemani, tapi sayang, perawatku mandinya seperti siput, dia kelar mandi, mungkin aku sudah punya cucu. Jadilah aku, pergi sendirian bersama kendaraan paling nyaman berbekal belasan obat berwara-warni dan segala macamnya, menemui sang jelmaan malaikat.
***

[Risol] : Hi! Jo!
[KeithJm] : Hallo! Kamu mengenalku?
[Risol] : Hm, iya. Saya nggak akan sebarin akun kamu kok.
[KeithJm] : ah, syukurlah. Aku bakal temenin kamu chat sebagai gantinya.
[Risol] : …

Jo mengangkat alisnya tak mengerti, kenapa malah saat diajak chat, orang deng user name Risol malah off. Dia menghembuskan nafas keras, memutar bola matanya. Sejak show minggu kemarin di Canberra, teman-temannya seakan menjauhi dirinya, Jo kesepian. Di sekolah pun, Tomi, teman yang duduk di depan kursinya jarang meminta contekan. Bukannya bersyukur, Jo malah khawatir.
Ah, dia teringat, hari ini dia harus bertemu dengan salah satu fans-nya di kawasan Nirwana. Dia mengobrol dengan temannya waktu itu, katanya temannya sangat mengagumi permainan piano Jo di Canberra minggu lalu. Jo langsung menyisir rambutnya lalu membanting pintu apartemennya.
***
“Hi! Kamu Ifa?” Jo mendekati Ifa, Ifa tersenyum sambil mengangguk lemah di atas kursi rodanya. Jo punya perasaan aneh, enggan untuk lanjut melangkah tapi ada sebuah ketakutan, keengganan.
Ifa memainkan tabletnya yang terpangku di paha, dia mengacungkan tabletnya, dan Jo bisa jelas membaca tulisan itu, Aku Ifa.
“Kamu? Bisu?” Tanya Jo. Ifa mengangguk, hati Jo meluntur, dia tersentuh.
Bukan hanya bisu. Tapi sekarat. Tablet itu Ifa acungkan lagi, Ifa tak sungkan memberi tau tubuh ringkihnya.
Jo tersenyum bingung, tak tau artinya sekarat apa, tak tau apalagi yang harus dia lakukan. Mengobrol sendiri, dan menunggunya menulis di atas tablet tipis? Jo tidak tau, bisa saja dia beralasan untuk pergi les piano, tapi hatinya tak setuju. Pikiran, hati dan mulutnya tidak sinkron.
“Mau jalan-jalan?”
Ifa terdiam, hampir tersedak debu, satu persatu kepompong diperutnya membelah melahirkan kupu-kupu hiperaktif dan bising, kupu-kupu itu mengirim impuls ke pipinya yang tiba-tiba merona. Bibir Ifa samar-samar terangkat, hormone dopaminnya seketika meningkat. Ifa mengangguk.
Jo gelagapan saat tangannya secara spontan terulur, reflek mengajak jalan orang normal. Dia menggaruk tengkuknya lalu meraih pegangan kursi roda. Dan mendorong perlahan.

***

[Risol] : Ya Tuhan, mbak Nisa!! Mbak nggak bakal percaya kalo aku pergi ke taman bareng Jo!
[Niskawat] : Coba mbak ikut.
[Risol] : Aku beruntung, dipenghujung hidupku, di sisa hariku. Bisa jalan bareng Jo …
[Niskawat] : Ayo dong, jangan begitu. Ungkapin perasaanmu Ris.
[Risol] : …
Ungkapkan? Apa itu?
Aku pura-pura bodoh kepada diriku sendiri, lalu tersadar sendiri. Aku bukan siapa-siapa. Aku bukan apa-apa. Melainkan hanya seonggok debu yang beberapa hari mendatang bakal ada badai yang menerbangiku jauh-jauh, pergi ke dunia immortal. Sialan.
Jo sedang bermain dengan anak kecil di depanku, punggungya menatapku bahagia. Aku ingin memeluk punggung itu. Rambut lembut agak kemerahannya tertabrak angin, melambai-lambai. Aku ingin mengelus rambutnya walau sebentar. Dia menengok ke arahku, matanya yang kecoklatan, cerah, dan memiliki energi untuk terus hidup, aku ingin menatap matanya terus, aku ingin matanya terus memancarkan energi kehidupan.
“Fa? Anak itu lucu lho. Masa ngeledek aku mirip gelas pecah.” Jo terkekeh tanpa beban.
Kamu memang berantakan kayak gelas pecah.
“Wah kamu nyebelin ya.” Dia menatapku gemas, lalu lanjut bermain dengan anak kecil itu lagi.
Aku jatuh cinta Jo, kepadamu. Kepadamu, wahai jelmaan malaikatku. Bisakah gerbang immortal yang mendekat kepadaku pecah dan menghilang?  aku ingin berada dalan dunia mortal lebih lama lagi, aku ingin menatap punggungmu terus, aku ingin berdiri, kuingin kau rengkuh, kuingin kau dekap, kuingin kau … kuingin hidup kembali menjadi istimewa tanpa kehilangan apapun, menjadi istimewa dengan bibir yang bukan hanya menjadi pajangan. Lalu berbisik dikeributan angin, di atas bukit, di depan matahari tenggelam, aku mencintaimu.

***

Waktu terasa lambat, begitu yang Jo rasakan, berbicara—atau mengobrol sendiri—dengan Ifa, ada sesuatu yang janggal, entah apa itu, itu tak terlihat, ada di samping Ifa. Jo tak tau, tapi ia berusaha untuk enjoy dengan Ifa.
Dia membalik badannya, lalu menatap Ifa, dia terpeleset dalam dimensi penglihatannya sendiri, mata Ifa, yang dilihatnya memancarkan kerapuhan, memancarkan kesedihan yang begitu pekat. Terlalu suram untuk dilihat, terlalu sedih untuk tidak dikhawatirkan. Tiba-tiba nafas Ifa tersenggal-senggal.
Are you okay?” Tanya Jo. Jawaban ‘ya’ sangat tidak cocok dengan keadaan.
Jo berlutut, bingung, Ifa tak berbicara, tentu saja, Ifa juga tak menulis, ini yang Jo khawatirkan.
***
Penyakitku kambuh, penyakit inilah gerbang immortalku, gerbang yang menuntunku kepada keabadian. Aku belum siap. Jadi aku segera membuka tas kecil disebelahku, mengambil beberapa obat berwarna putih dan kecil-kecil. Sementara malaikat di depanku mengurus tabletku, sepertinya dia hendak menelpon entah siapa.
Aku segera menelan 3 pil berwarna putih kecil dan 2 tablet putih berukuran jumbo, aku bisa menelan mereka tanpa minum, itu salah satu kelebihanku, tapi nyatanya aku tidak punya kelebihan apapun, karena saat ini juga tenggorokanku rasanya tersekat, nyeri sekali, obat-obat itu kumuntahkan begitu saja. Tak lama kepalaku sudah sangat berat. Tapi masih terpikirkan olehku tentang mbak Nisa yang menyuruhku mengungkapkan—cinta dalam diam itu sakit.
Aku tak tau lagi tentang rasaku saat ini, mbak Nisa benar, beberapa tahun yang lalu, mbak Nisa pernah bercerita tentang seorang wanita yang sedang jatuh cinta diam-diam kepada seseorang, nahas saat wanita itu ingin memberikan sebuah pigura dan menyatakan persaanya, dia terjerembap ke jalan raya lalu tertabrak lalu mati.
Aku tau, kisah itu hanya dikarang dan kisah itu ditujukan untukku semata, kali ini rasa sakit itu benar-benar pekat di dada, mengalahkan kanker dan asma parahku yang terus-terusan menggerogotiku tanpa ampun.
Saat ini, aku hanya bisa berdoa dalam hati, semoga aku tak mengalami ending seperti kisah yang mbak Nisa katakan, aku sudah terus-terusan merasakan sakit lalu sekarang, merasakan sakitnya cinta dalam diam.
Sebegitu konyol inikah keadilan?
Di akhir nafasku, aku berusaha untuk membuka lebar mataku, menatap dunia yang sebentar lagi kutinggal, lalu samra-samar aku melihat orang berkerumun datang menghampiriku, sementara Jo masih menghubungi orang, orang-orang itu bertanya-tanya, bahkan sudah ada yang menelpon ambulan.
Jadi, aku ini …
“Mbak, maaf ini saya Jo. Jadi gini, Ifa tiba-tiba sesak nafas, kami lagi di taman. Tolong segera ke sini!” sayup-sayuo aku mendengar suara parau Jo, dia terdengar khawatir parah mengenai keadaanku, dia pun berbalik dan berlutut.
“Kamu bisa bertahan, kan? Sebentar lagi ambulan datang.”
Ya, semoga saja.  Semoga malaikat mautku sedang terkena macet di jalanan sana. Aku pun mengangguk lemah, tiba-tiba saja tangannya menggenggam erat tanganku, aku pun bisa melihat jelas dia berkaca-kaca.
Tuhan, aku memilih bertahan walau sebentar. Membuktikan bahwa ini semua tidak sia-sia, pengobatanku tak sia-sia, kedekatanku dengan jelmaan malaikatMu tak sia-sia. Dan membuktikan bahwa kau adil, membuktikan bahwa Tuhan juga romantis.
Namun, sepertinya doaku terhambat kabut abu-abu yang mendekatiku, aku tau, aku tak akan dibiarkan bertahan oleh-Nya dan membiarkan aku mati di depannya.


Komentar

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

[Review] Lost Novel by Eve Shi

[Review] Aishiteru

[Review] Koala Kumal