Special Is Blessing

Tidak ada yang sempurna di dunia ini, manusia adalah salah satunya. Meskipun manusia adalah makhluk-Nya yang paling sempurna, ada sebagian dari kita yang dilahirkan dengan keistimewaan tersendiri. Saya yakin kita semua tidak mau terlahir beda, tapi kita pula tak bisa meng-order kepada Tuhan tentang bagaimana fisik dan jiwa kita saat lahir.

pict from here


Dewasa kini, yang terlahir beda maupun mengalami sebab tertentu disebut penyandang Disabilitas, sebutannya sangat-lebih-baik daripada penyandang cacat. Jujur, sebutan ‘Penyandang cacat’ itu kelewat jujur menurut saya dan sebutan itu dipandang sebelah mata oleh masyarakat banyak.

Disabilitas itu sendiri artinya adalah istilah yang meliputi gangguan, keterbatasan aktivitas, dan pembatasan partisipasi. Gangguan adalah sebuah masalah pada fungsi tubuh atau strukturnya; suatu pembatasan kegiatan adalah kesulitan yang dihadapi oleh individu dalam melaksanakan tugas atau tindakan, sedangkan pembatasan partisipasi merupakan masalah yang dialami oleh individu dalam keterlibatan dalam situasi kehidupan. Jadi disabilitas adalah sebuah fenomena kompleks, yang mencerminkan interaksi antara ciri dari tubuh seseorang dan ciri dari masyarakat tempat dia tinggal. [Wikipedia Indonesia]

Saya mempunyai saudara penyandang disabilitas. Dulu saat lahir, itulah cucu Mbah saya yang paling cantik, sehat, putih dan sebagainya, namun karena kesalahan pemberian ASI, beliau mengalami sesuatu yang sampai sekarang saya tidak tau nama penyakitnya apa, umurnya 25 tahun namun mentalnya seperti anak 9 tahun. Kalau saja penanganannya lebih cepat, beliau tidak akan seperti ini.
Yang saya kecewakan lagi, di tempat tinggalnya sana, tidak ada sekolah khusus yang bisa membimbingnya, karena hak penyandang disabilitas mendapatkan pendidikan dan fasilitas yang baik dan setara dengan non-difabel.

Syukurnya, di daerah saya kepedulian masyarakat terhadap pendidikan penyandang disabilitas cukup tinggi, kurang lebih ada 7 sekolah khusus di kota saya, sebagian besar negeri dan ada beberapa yang swasta. Meskipun kota yang saya tempati tidak besar dan tidak maju-maju amat, para orang tua di daerah saya sudah sadar dan mengenal lebih jauh tentang disabilitas sehingga mereka menyekolahkan anak-anaknya, lebih menghargai dan menyamakan hak-haknya, mengkhusukan mereka. Bahkan sudah ada sekolah tingkat lanjut untuk penyandang difabel.

Sayangnya, pemberian opportunity jobs untuk penyandang difabel masih sangat minim, bahkan skala Indonesia. Setelah saya cari sana sini tentang loker untuk difabel, hanya beberapa kota besar dan perusahaan tertentu di Indonesia yang telah mempekerjakan penyandang disabilitas. Padahal pemerintah sendiri (mengacu pada UU No. 13 tahun 2003, UU No. 4 Tahun 1997 tentang penyandang cacat dan Peraturan Pemerintah (PP) No 43 tahun 1989 tentang upaya peningkatan kesejahteraan sosial penyandang cacat) telah memberikan perhatiannya terhadap penyandang disabilitas namun hal ini masih diperkarakan. Penyandang disabilitas yang mempunyai skill dan siap terjun ke dunia kerja pun masih sedikit, mungkin ini adalah akibat kurangnya pemahaman tentang pentingnya pendidikan untuk penyandang disabilitas.

Saya pernah membaca artikel, di mana sumbernya menyatakan bahwa Indonesia butuh tenaga pengajar untuk penyandang disabilitas, dia juga berkata bahwa untuk mencari tenaga kerja yang “paham” akan kewajiban mendidik penyandang disabilitas sangat sulit.

Terlepas dari masalah tenaga kerja dan pendidikan, ada perkara lain, kita tau bahwa pemerintah berperan sebagai fasilitator, penyandang disabiltaspun punya hak penuh atas fasilitas yang diberikan pemerintah. saya akan menggunakan keadaan kota saya sebagai bahasan, di kota saya, tidak ada kursi bus khusus penyandang disabilitas, untuk halte pun sama, boro-boro buat penyandang difabel, kebanyakan halte di sini rusak dan malah menjadi pangkalan ojek bahkan tempat berjualan. Di sini hanya terdapat 2 mal, dan keduanya, tidak ada fasilitas khusus untuk penyandang difabel. Kebutuhan penyandang disablitas jadi tidak maksimal. Belum lagi pandangan masyarakat sekitar, keadaan ini tentu akan memojokkan penyandang dan keluarganya.  

Saya rasa, paradigma masyarakat perlu diubah, memang tidak semua memandang sebelah mata, tapi kita harus memaksimalkan usaha, bukan? Tidak rugi kok ber-positive-thinking apabila melihat penyandang disabilitas, tersenyum juga tidak akan membuat dompet hilang (kecuali saat itu kecopetan hehe).

Meskipun fasilitas, dan tetek bengek perkara penghambat perkembangan penyandang disabilitas tidak maksimal, yang lebih harus pro aktif adalah orang tua, misalkan, di sebuah daerah tanpa ada sekolah khusus, tanpa sekolah khusus pun orang tua bisa memercikkan ilmu-ilmu, mengajarkan cara menjahit atau memasak, yang bisa melatih motorik penyandang, toh memang sifat ilmu itu fleksibel, bisa didapatkan dari mana saja. Orang tua juga berperan sebagai penanggung jawab penyandang, meski fasilitas tidak full, orang tualah yang bertanggung jawab atas fasilitas anaknya, mereka lebih bertanggung jawab.

Memang tidak mudah untuk mengasuh, adik saudara saya yang mengalami disabilitas sering mengalami kesulitan saat mengasuh beliau apalagi ketika saudaya saya itu sedang dalam “Periode wanita”, sejak Bude (ibu mereka) meninggal dunia, adiknya yang mengambil alih asuh sekaligus turut menjadi penopang ekomnomi keluarga. Semangatnya dan ketulusannya yang sampai saat ini saya contoh.

Pirct from here





Komentar

Postingan populer dari blog ini

[Review] Aishiteru

[Review] Lost Novel by Eve Shi

[Review] Koala Kumal